“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha penerima taubat.” (QS An-Nashr: 1-3).
Setiap orang dalam perjalanan hidupnya pasti mendambakan kemenangan, apapun bentuknya dan bagaimanapun kualitasnya. Sebaliknya siapapun tidak akan merasa senang, apalagi sampai mendambakan, menerima kekalahan, apapun bentuknya dan bagaimanapun kualitas kekalahan tersebut.
Dalam bahasa Arab banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang bermakna kemenangan. Pada umumnya perbedaan-perbedaan istilah yang bermakna kemenangan dalam penggunaannya dikarenakan perbedaan substansi dan konteksnya. Antara lain Al-Falah (QS Al-Mu`minun: 1-6), Al-Fauz (QS Al-Ahzab: 70-71), An-Nashr (QS. At-Taubah: 40), Al-Fath (QS Al-Fath: 18), dan lainnya.
Dapat dikatakan, istilah Al-Falah lebih mendekati makna kemenangan yang bersifat umum. Apapun istilah atau lafazh yang digunakan untuk mengungkapkan kemenangan, namun makna kemenangan, pada intinya, adalah kesuksesan dalam meraih yang diharapkan atau yang dicita-citakan. Umumnya di dalam kemenangan dan kesuksesan tersebut terkandung berbagai makna kebaikan, kenikmatan, atau keberhasilan menurut persepsi orang yang mengharapkan dan memperjuangkannya.
Secara nilai, kemenangan bukan hanya ketika seseorang secara fisik berhasil mengalahkan lawan, hanya ketika dirinya berhasil mencapai prestasi terbaik. Demikian pula halnya dengan kekalahan. Bukan hanya ketika seseorang terkapar dalam kekecewaan karena tidak berhasil memenangkan suatu pertandingan.
Setiap orang, pada dasarnya mendambakan kemenangan, maka atas dasar itu setiap orang akan merasa bahagia jika ia mampu meraih kemenangan atau sukses dalam mewujudkan sesuatu yang didambakannya. Dan sebaliknya, siapapun akan merasa kecewa jika mengalami kekalahan atau kegagalan.
Tetapi dalam realitas kehidupan, tidak semua kemenangan yang diraih seseorang dapat membuat dirinya merasa bahagia. Ada orang yang hanya sukses atau menang dalam pandangan orang lain. Sedangkan dirinya selalu dibayang-bayangi rasa takut dan khawatir sehubungan dengan anggapan orang bahwa dirinya telah meraih kemenangan.
Singkatnya, ada orang yang terlihat sukses dan menang namun realitas sejatinya jauh dari kebahagiaan. Ada pula orang yang sukses melakukan amal-amal yang di hadapan Allah Swt tergolong sebuah kemenangan. Namun di mata manusia justru tidak dipandang sebagai suatu kemenangan bahkan dianggap sebagai kegagalan dan bahkan kebodohan.
Misalnya orang yang konsisten menjadikan dunia sebagai arena kompetisi untuk meraih kebahagiaan akhirat. Dia terus-menerus beramal kebaikan yang membuat hidup dirinya sepenuhnya berorientasi akhirat sampai akhirnya mereka menjadi pribadi yang sukses dan bermakna serta dapat meraih kebahagiaan sejati.
Pada hakikatnya, setiap orang yang terlahir ke dunia ini dapat dikatakan sebagai pemenang. Karena sebelum lahir, setiap manusia, setidak-tidaknya selama 9 bulan, telah mengikuti sebuah kompetisi luar biasa di alam rahim ibunya. Selama berada di dalam rahim ibunya bayi-bayi tersebut berjuang untuk dapat lahir di dunia ini dengan selamat.
Karenanya, tidak ada orang yang selama hidupnya di dunia tidak menginginkan kemenangan dan sebaliknya menginginkan kekalahan. Tidak ada pula orang yang memilih menjadi manusia yang gagal, yang larut dalam ketidakpercayaan diri, tenggelam dalam rasa takut.
Tidak ada pula orang yang mengharapkan musnah terseret oleh zaman dikarenakan dirinya tidak mampu bersaing di arena kehidupan nyata yang penuh tantangan. Arena kehidupan tersebut, pada hakikatnya, menurut Rasulullah Saw, adalah sebuah perjalanan yang sangat jauh dan penuh dengan tantangan yang berat.
Bahkan tidak sedikit orang yang sangat berkeinginan selalu menang dalam setiap kompetisi di sepanjang hidupnya. Meskipun secara nyata mereka tidak melakukan suatu ikhtiar atau terlibat dalam aktivitas yang dapat melahirkan kemenangan yang dinginkan dan membahagiakan diri mereka itu.
Karena itu, kemenangan merupakan sesuatu yang didambakan dan sekaligus membahagiakan orang yang telah sukses meraihnya, maka orang cenderung rela mengorbankan apa saja demi meraih kemenangan tersebut (QS At-Taubah: 111). Terlebih di masa kini, tidak sedikit orang yang mengorbankan apa saja bahkan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan, terutama kemenangan politik. Apakah sebagai Anggota Legislatif atau sebagai pejabat di ekskutif.
Sebab pada dasarnya pengorbanan merupakan tuntutan dalam segala upaya untuk mencapai tujuan apalagi kemenangan. Dalam konteks perjuangan Islam, Ibnu Taimiyah memaknai dengan berusaha sungguh-sungguh untuk menghasilkan sesuatu yang diridhai Allah Swt berupa amal shalih, keimanan, dan menolak sesuatu yang dimurkai Allah Swt berupa kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan, pengorbanan sangat dibutuhkan.
Pengorbanan tersebut bukan hanya di kancah pertempuran fisik dalam suatu peperangan melainkan juga dalam kancah perjuangan di ranah politik dalam rangka mengemban misi besar manusia di bumi, yaitu membangun peradaban. Dalam sejarah perjuangan Islam atau jihad di jalan Allah Swt selalu menuntut pengorbanan (QS At-Taubah: 120).
Para pendahulu umat ini telah memberikan contoh yang mengagumkan bagaimana mereka berjuang dan melakukan pengorbanan yang mereka punya baik harta dan jiwa sekalipun. Mereka tidak pernah ragu untuk mempersembahkan jiwa dan harta mereka demi tegaknya syariat Allah. Melalui pengorbanan dan kerja keras yang didasari ketulusan motivasi karena Allah Swt semata, diharapkan seorang anggota atau kader dapat sukses atau menang di dunia dan kemenangannya itu kemudian dijadikannya sebagai jembatan untuk meraih kemenangan abadi di akhirat.
Lawan kemenangan adalah kekalahan. Kekalahan yang selalu dihindari setiap orang, dimaknai sebagai kegagalan. Secara psikologis, seseorang yang telah mengalami kegagalan dapat menyebabkan dirinya dilanda kekecewaan, kekesalan, dan bahkan kemarahan. Hal itu dikarenakan harapan untuk dapat meraih kemenangan nyaris musnah karena telah kandas di tengah jalan.
Sebagian orang bahkan merasa malu kepada orang-orang-orang yang berada di sekitarnya jika ternyata dirinya telah dilanda kekalahan. Bahkan, tidak sedikit pula orang yang karena kekecewaannya sangat berat, sampai ke tingkat bunuh diri karena tak mampu menahan keputusasaan yang mencengkeram dirinya.
Dan Allah Swt melarangan berputus asa terhadap rahmat-Nya. Karenanya, sebagai seorang muslim ketika ia diterpa dosa dan kesalahan, janganlah langsung merasa gagal dalam menjalani hidup, namun tetap berkeyakinan adanya rahmat Allah Swt.
Allah Swt berfirman: “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah”. (QS Az-Zumar: 53). “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat”. (QS Al-Hjir: 56)
Selain karena jiwanya tidak sanggup lagi untuk menanggung kekecewaan. sehingga dirinya terus-menerus dilanda kegalauan. Kekalahan bisa jadi membuat seseorang semakin takut untuk berjuang. Padahal, tidak sedikit orang yang sukses meraih kemenangan justru karena pernah mengalami kekalahan yang dijadikannya sebagai pelecut semangat untuk bangkit kembali meraih kemenangan.
Tidak selamanya apa yang kita perjuangkan berujung pada sebuah kemenangan dan keberhasilan dan ini adalah sunatullah. Proses peraihan atau pencapaian sesuatu yang kita dambakan tidak selalu berjalan mulus dan meraih sukses. Ada kalanya kita mengalami kegagalan yang menyebabkan diri kita dilanda kekecewaan. Dengan kata lain jalan menuju kemenangan tidak selamanya selalu terbuka lebar dan berjalan mulus dan berakhir dengan kesuksesan.
Sebaliknya, ada begitu banyak rintangan yang menghadang dan rintangan tersebut tidak mustahil sampai ke tingkat melahirkan kegagalan. Namun, idealnya kita tidak perlu kecewa dikarenakan di balik kegagalan pasti ada suatu titik di mana kita menemui arti besar di balik sebuah kekalahan.
Ada banyak hikmah di balik setiap kekalahan dialami. Di sisi lain, kegagalan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Karena itu siapapun bisa jadi pernah mengalami kegagalan, di sisi lain tidak seorang pun tahu kapan kegagalan itu akan datang. Dalam dakwah, hakikat kemenangan adalah pertolongan Allah Swt.
Dapat dikatakan, tidak ada kemenangan kecuali dengan pertolongan Allah Swt. Karena itu kemenangan dan pertolongan Allah Swt ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Jika satu sisi lepas, maka hilanglah nilainya. Selain itu kemenangan juga merupakan ujian dari Allah Swt.
Setiap orang yang ingin naik ke level yang lebih tinggi, pati akan melewati ujian. Demikian juga dalam kaitan keimanan seorang muslim. Allah Swt selalu memberikan ujian sesuai dengan kemampuan manusia. Sebab orang yang beriman tidak hanya cukup dengan pengakuan di bibir sebagai orang yang beriman sebelum Allah Swt memberikan ujian kepadanya. Ujian yang datang dari Allah Swt jelas salah satu sasarannya untuk membuktikan apakah kita sanggup menyikapinya dengan benar, atau justru membuat kita terlena.
Allah Swt berfirman: “Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid). Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan azab kepadamu dari sisi-Nya, atau (azab) melalui tangan kami. Maka tunggulah, sesungguhnya kami menunggu (pula) bersamamu.” (QS At-Taubah: 52)
Ayat diatas cukup menggambarkan tentang hakikat kemenangan yang sejatinya. Kemenangan bukan hanya ketika seseorang berhasil mendapatkan semua yang dinginkannya dalam hidupnya. Akan tetapi, lagi-lagi secara nilai, kemenangan adalah saat seseorang dapat melawan suatu kegagalan atau ketika ia dapat mengatasi musibah.
Bahkan di saat seseorang dapat bangkit dari suatu keterpurukan dan selanjutnya mampu berjuang melintasi berbagai cobaan, rintangan, dan ujian hidup dapat dikatakan ia telah meraih kemenangan. Hal itu telah dicontohkan oleh sikap sebagian pasukan Thalut yang dengan keteguhan hati dan keberserahan yang total kepada Dzat Yang Memberi Kemenangan terus berjuang meskipun harus melintasi berbagai cobaan, rintangan, dan ujian.
Dalam medan pertempuran, kekuatan perlengkapan dan fisik sehebat apa pun, kalau yang memilikinya adalah orang yang bermental pengecut dan lemah. Baik lemah keinginan ataupun lemah kemauannya untuk menang. Tentara Thalut antara lain diuji Allah Swt agar berjalan jauh yang membuat mereka kehausan luar biasa.
Tetapi ketika melintasi sebuah sungai yang airnya sangat jernih, mereka justru dilarang meminumnya kecuali seteguk air sekedar untuk mengurangi rasa haus mereka. Dan mereka tidak melanggar janji mereka yang pernah terucap di hadapan Nabi mereka, bahwa mereka siap berperang. Akan tetapi, setelah menyadari bahwa musuh mereka memiliki kekuatan lebih besar dan hebat, sebagian dari mereka menyerah sebelum bertempur.
Sebagian dari mereka ada pula yang tetap taat dan tidak melakuan yang bertentangan dengan perintah Thalut. Merekalah pasukan yang terdiri dari orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah Swt, yaitu orang-orang yang memiliki iman yang kuat menghujam, teguh dan keyakinan yang kuat. Mereka saling meneguhkan, saling menenangkan pikiran mereka, dan mengingatkan agar bersabar. Kisah mereka telah diabadikan dalam Al-Quran.
“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, ia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku’. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyebrangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, ‘Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya’. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah: 249)
Kemenangan secara nilai juga saat di mana seseorang dengan penuh keyakinan dan kemantapan dapat mengalahkan berbagai hambatan dan rintangan psikologis dirinya. Bisa jadi sebagian orang tidak merasa sebagai rintangan. Rintangan psikologis tersebut menjadi hambatan bagi siapapun yang akan terus berjuang meraih kemenangan yang didambakannya atau mewujudkan cita-cita yang ingin di raihnya.
Hambatan psikologis dapat juga mengganggu jalannya komunikasi dan hubungan dalam perjuangan, terutama perjuangan di ranah politik yang sangat memerlukan kepiawaian dalam berkomunikasi. Dengan kata lain, kemenangan justru terjadi di saat seseorang dapat mengalahkan hambatan internalnya yang menyebabkan dirinya merasa yakin dapat meraih yang dicita-citakannya.
Hambatan internal tersebut juga sebagai hambatan psikologis, yaitu seseorang yang terlebih dahulu merasa kalah atau tidak akan menang sebelum memulai langkah perjuangan. Dan hambatan psikologis tersebut merupakan unsur dari kegiatan psikis manusia. Penghambat yang berasal dari dalam diri sendiri, yang memiliki sifat atau tujuan untuk menghalangi atau melemahkan suatu keinginan atau pun kemajuan yang hendak dicapai. Dan tidak sedikit hambatan psikologis yang kita temui ketika kita hendak mencapai suatu tujuan atau terjun di medan perjuangan politik.
Hambatan internal atau hambatan psikologis yang dapat merintangi perjuangan meraih kemenangan antara lain merasa tidak berdaya dan papa (QS Al-Hasyr: 9), rasa malas, pesimistik, penuh kesangsian, dan merasa hanya akan sia-sia.
Rasul Saw bersabda: “Ingatlah, setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu’alaihi wasallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.” (HR At-Thabrani).
Doa yang dipanjatkan tentara Thalut kepada Allah Swt, jelas menggambarkan tentang kemantapan mereka dalam menghadapi musuh dan kemenangan mereka dalam mengalahkan hambatan psikologis internal. “Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS Al-Baqarah: 250). Wallahua’lam bishawab. (TJP-2019)