RUMAH PENA MOTIVASI

Cinta dan Kesetiaan Khadijah Binti Khuwailid, Sayyidah Quraisy Ath-Thahirah

Khadijah Radhiyallahu ‘Anha (RA) adalah istri pertama Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (SAW) yang digelari Ummul Mukminin (ibunya orang-orang beriman). Nama lengkapnya Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay al-Quraisyiah al-Asadiyah.

Ibunya bernama Fatimah binti Zaidah bin Jundub. Khadijah RA dilahirkan di Mekah pada tahun 555 M atau 68 tahun sebelum Nabi Muhammad hijrah dan wafat pada 22 November 619 M atau 11 Ramadhan, tiga tahun sebelum Nabi hijrah, pada usia 65 tahun. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada kakek kelima, yaitu Qushay.

Khadijah RA adalah wanita cantik bermata jeli, berkulit putih, bertubuh ramping, cerdas, tegas, teguh pendirian, kaya, memiliki karakter mulia dan selalu menjaga kehormatannya. Beliau merupakan keturunan keluarga terpandang bangsawan Quraisy.

Karena keunggulan sifat, karakter dan keturunannya inilah kaum Quraisy memberikan penghormatan yang besar pada sosok beliau sehingga diberi julukan wanita “Ath-Thahirah” artinya yang suci. Karena itu, tak heran jika Khadijah RA diinginkan banyak pemuka Quraisy untuk menjadi istrinya.

Di masa jahiliyah, di usianya yang masih muda, Khadijah RA pernah menikah dua kali. Pertama dengan Atiq bin A’id al-Makhzumi dikaruniai dua putra bernama Hala dan Hindun. Namun, suaminya meninggal saat Khadijah RA berusia 20 tahun.

Kemudian menikah kedua kalinya dengan Abu Halah bin Nabbasy at-Tamimi, yang juga meninggal, dikaruniai seorang putri bernama Hindun bin Abu Halah. Setelah itu, beliau menutup hatinya dari semua laki-laki. Beliau tak ingin lagi menikah dan memutuskan hidup sendiri untuk membesarkan anak-anaknya sekaligus konsentrasi membangun dan mengembangkan bisnisnya.

Akhirnya bisnis Khadijah RA sukses, sehingga beliau dikenal sebagai seorang wanita kaya, terpandang dan pedagang besar sehingga kaum Quraisy sangat menghormatinya. Telah banyak pembesar-pembesar kaumnya yang meminang beliau tetapi ditolaknya.

Setelah lama menjanda hingga usia beliau menjelang 40 tahun, cerita tentang seorang lelaki bernama Muhammad bin Abdullah yang ia dengar dari orang-orang dan dari budaknya, Maisaroh, menggoyahkan keteguhannya. Khadijah RA begitu kagum dengan seorang pemuda berumur 25 tahun yang mendapat gelar dari kaum Quraisy dengan sebutan “Al Amin” (Yang Terpercaya), berakhlak mulia, yang jujur lagi terpercaya.

Pada suatu malam, Khadijah RA bermimpi sangat menakjubkan, yaitu melihat matahari berputar-putar di atas kota Mekkah menuju bumi. Beliau terus memperhatikannya semakin mendekat, akhirnya turun dan memasuki rumahnya. Cahayanya yang sangat agung itu membuat beliau tertegun, lalu terbangun dari tidurnya.

Keesokan harinya beliau pergi ke rumah sepupunya (anak saudara ayahnya), pendeta Waraqah bin Naufal, yang telah memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah. Kemudian beliau menceritakan mimpinya itu. Waraqoh menyampaikan “itu berita gembira, akan datangnya seorang lelaki agung dan mulia yang akan meminangmu. Beliau memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran yang semakin hari semakin meningkat”.

Terpikir mimpinya dan penjelasan pendeta Waraqoh serta kekagumannya terhadap seorang pemuda yang dijuluki Al Amin tersebut, Khadijah RA ingin mengenal lebih dekat dengan sosok Muhammad bin Abdullah.

Paman Nabi SAW, Abu Thalib yang telah menjalin kesepakatan dengan Khadijah RA untuk memimpin rombongan kafilah dengan membawa dagangan Khadijah RA ke negeri Syam, menyerahkannya kepada keponakannya, Muhammad bin Abdullah. Untuk menemani beliau membawa barang dagangannya itu ke Syam, Khadijah RA menyertakan seorang budak laki-lakinya bernama Maisaroh.

Setiba di wilayah kekuasaan Romawi itu, Nabi Muhammad SAW berteduh di bawah pohon dekat kuil milik seorang pendeta. Si pendeta datang mendekati Maisaroh dan bertanya “Siapa laki-laki yang berteduh di bawah pohon itu?” “Ia seorang laki-laki Quraisy dari penduduk al-Haram”, jawab Maisaroh. Si pendeta berkata lagi, “Tak seorang pun yang singgah di bahwa pohon ini kecuali seorang nabi”.

Akhirnya, kafilah dagang yang dipimpin Muhammad SAW kembali ke Mekkah dengan memperoleh keuntungan besar. Maisaroh mengabarkan kepada Khadijah RA tentang kemuliaan akhlak Muhammad SAW dan sifat-sifatnya yang agung, yang ia lihat selama perjalanan bersamanya. Karena dalam safar atau perjalanan jauh, lama dan banyak kesulitan biasanya menampakkan perangai orang yang sebenarnya dan yang tersembunyi. Dan Khadijah RA semakin tertarik dengan pemuda berakhlak mulia tersebut.

Khadijah adalah wanita yang cerdas, ia tidak tergesa-gesa, emosinya stabil. Sehingga beliau bisa mengetahui kabar tentang Muhammad SAW tanpa membuatnya merasa malu atau jatuh harga dirinya.

Ketika Muhammad SAW kembali ke Mekkah dari perjalanan dagangnya ke Syam, Khadijah RA melihat beliau sangat amanah dalam mengelola dagangan miliknya dan memperoleh keuntungan besar dalam daganganya yang belum pernah beliau lihat sebelumnya. Selain itu, budak lelaki Khadijah RA yang bernama Maisaroh, juga mengabarkan kepadanya tentang pembawaan beliau yang lembut, sifat-sifat beliau yang mulia, ketajaman berpikir, perkataan yang jujur, serta metode dagang beliau yang amanah.

Maka Khadijah RA seakan menemukan sosok pria yang didambakannya selama ini. Padahal banyak sekali para tokoh dan pembesar kaumnya yang berusaha untuk menikahinya, namun Khadijah RA menolak semuanya. Lalu Khadijah RA mencurahkan perasaannya tersebut kepada sahabat saudagarnya, Nafisah binti Muniyyah dan Nafisah pun segera pergi kepada Muhammad SAW dan menanyakan kepada beliau mengapa belum menikah.

Aku tidak memiliki apa-apa untuk berumah tangga,” jawab Muhammad SAW. Nafisah lalu mengatakan kepada beliau, “Ada seorang wanita bangsawan, cantik, cerdas, hartawan dan budiman yang tertarik kepada Muhammad SAW yaitu Khadijah RA, apakah engkau bersedia menikahinya?”.

Gayung pun bersambut. Muhammad SAW dan seluruh keluarga besarnya menyambut dengan gembira keinginan Khadijah RA tersebut. Kemudian beliau bersama pamannya, Hamzah RA, mendatangi paman Khadijah RA, Amir bin Asad dan melamarnya. Khuwailid, ayah Khadijah RA, saat itu sudah meninggal. Tidak lama setelah itu, pernikahan pun dilangsungkan pada hari Jumat, dua bulan sesudah beliau kembali dari Syam, dengan mahar berupa 20 ekor unta.

Saat itu beliau berumur 25 tahun dan belum diangkat menjadi Nabi, sedang Khadijah RA berusia 40 tahun. Bertindak sebagai wali Khadijah RA ialah ‘Amir bin Asad, pamannya. Sedang Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan, yang disambut oleh Abu Thalib. Akad pernikahan ini dihadiri oleh para keluarga dari kalangan Bani Hasyim dan para pembesar kabilah Mudhar.

Selesai upacara pernikahan, Khadijah RA membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan: “Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau ridhoi”.

Inilah yang dimaksud firman Allah SWT: “Dan Dia (Allah) mendapatimu (Muhammad SAW) sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan”. (QS Adh Dhuha: 8). Ayat tersebut menunjukkan bahwa Khadijah RA adalah pilihan Allah SWT yang dipersiapkan untuk menjadi istri Nabi Muhammad SAW dan mendampinginya pada awal masa perjuangan dakwah yang penuh rintangan.

Dari pernikahannya bersama Khadijah RA, Nabi Muhammad SAW dikaruniai 6 anak (2 putra dan 4 putri). Anak pertama dan kedua laki-laki bernama Qasim dan Abdullah. Kedua anak laki-laki beliau wafat saat masih kecil. Lalu lahir 4 putri yakni Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.

Dari 12 istri Rasulullah SAW hanya Khadijah RA dan Maria Al-Qibtiyah yang memberikan keturunan. Namun, hanya dari keturunan Khadijah RA anak-anak Rasulullah SAW terus tumbuh dewasa dan berkembang sampai sekarang. Dan yang berasal dari keturunan Maria Al-Qibtiyah hanya seorang putra bernama Ibrahim yang wafat sewaktu masih kecil. Selama hampir 25 tahun Rasulullah SAW hanya beristrikan Khadijah RA dan baru menikah dengan istri-istri lainnya setelah Khadijah RA wafat.

Di hari pernikahannya, Muhammad SAW membebaskan budak yang ia miliki warisan dari ayahnya bernama Barakah atau dikenal dengan Ummu Aiman. Khadijah RA sendiri menghadiahi suaminya seorang budak umur 15 tahun bernama Zaid bin Haritsah. Nabi Muhammad SAW sangat menyayangi Zaid, begitu sebaliknya Zaid, yang kemudian dia dimerdekakan dan dijadikan anak angkat beliau.

Setelah menikah, pasangan Muhammad SAW dan Khadijah RA hidup bahagia dan berkecukupan. Muhammad SAW begitu dicintai Khadijah RA, ketiga anaknya, dan seluruh keluarganya. Akhirnya lengkaplah kebahagiaannya dengan kelahiran putra putri mereka. Namun Muhammad SAW merasa prihatin melihat kerusakan moral bangsanya. Pada usia 30-an, beliau mulai menjauhkan diri dari kesibukan dunia untuk bertafakur memikirkan masyarakatnya di Gua Hira.

Khadijah RA begitu setia menyertai suaminya dalam suka dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira’, beliau menyiapkan semua perbekalan dan keperluannya. Jika beliau agak lama tidak pulang, maka Khadijah RA akan melihat untuk memastikan keselamatan suaminya sambil membawakan perbekalan makanan ke Gua Hira untuk suaminya.

Khadijah RA adalah satu-satunya orang yang diberi salam oleh Allah SWT sebagaimana hadist dari Abu Hurairah RA, ia bertaka: “Pada suatu waktu ketika malaikat Jibril mendatangi Rasulullah SAW sambil berkata, Wahai Rasulullah ini dia Khadijah. Ia datang kepadamu dengan membawa wadah berisikan lauk pauk di dalamnya serta makanan dan minuman. Apabila Ia datang kepadamu maka sampaikan kepadanya salam dari Allah SWT dan dariku kepadanya. Selain itu beritahukan kepadanya bahwa Allah telah mempersiapkan rumah untuknya di surga yang terbuat dari emas dan perak yang di dalamnya tidak ada kebisingan dan kepayahan lainnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Hadist ini menunjukkan betapa mulianya Khadijah RA di sisi Allah SWT.

Setelah bolak-balik bertafakur di Gua Hira dan saat usia Muhammad SAW sekitar 40 tahun, Malaikat Jibril, yang belum pernah beliau lihat sebelumnya, datang dan mendekap beliau dengan keras di Gua Hira, seraya menyampaikan wahyu yang pertama kali (Iqro’) kepada beliau.

Muhammad SAW gemetaran dan ketakutan kemudian pulang karena khawatir kalau ada hal buruk yang akan menimpanya. Maka Khadijah RA lah yang menenangkan hati Rasulullah SAW bahwa Allah SWT tidak akan menghinakan suaminya, lalu mengajak suaminya ke sepupunya yang beragama Nasrani, pendeta Waraqoh bin Naufal, yang sudah tua.

Rasulullah SAW menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, “(Jibril) ini adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu”. Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?” Waraqah menjawab, “Ya, betul. Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau kecuali pasti dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya”. Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia.” (HR Bukhari).

Pemberian wahyu melalui Jibril tersebut sebagai tanda telah diangkatnya Muhammad SAW sebagai seorang Nabi/Rasulullah (utusan Allah) yang terahir. Khadijah RA lah orang pertama yang beriman kepada Allah SWT, mengakui kenabian Muhammad SAW dan wanita pertama yang memeluk Islam.

Setelah memeluk Islam, Khadijah RA mengorbankan hidupnya untuk mendukung suaminya. Kehidupan yang semula tenang dan nyaman, berubah menjadi kehidupan yang menantang, penuh gangguan, kehidupan dakwah, jihad, bahkan pengepungan. Keadaan tersebut sama sekali tidak mengurangi cintanya kepada sang suami dan terhadap agama Islam yang diajarkan suaminya. Khadijah RA senantiasa mendampingi dan mendukung perjuangan suaminya dengan harta dan jiwanya untuk mencapai tujuan yang diperintahkan Allah SWT.

Ketika orang-orang kafir Quraisy memboikot dan mengasingkan Nabi Muhammad SAW beserta keturunan Bani Hasyim selama 3 tahun ke suatu pegunungan di pinggiran Mekah, Khadijah RA yang bukan bagian dari Bani Hasyim, tak ragu ikut mendampingi suaminya. Orang-orang kafir tersebut tidak membolehkan siapapun menikahi mereka, dan tidak boleh membeli, menjual atau mengirimkan makanan atau apapun kepada mereka selama tiga tahun itu.

Bani Hasyim begitu menderita, kekurangan makanan, sampai-sampai mereka makan dedaunan karena tak ada makanan. Seolah-olah mereka akan dibiarkan mati kelaparan supaya Rasulullah SAW berhenti dalam menyebarkan agama Islam. Akibat blokade yang begitu lama ini, Khadijah RA jatuh sakit yang terus melemah.

Suatu hari ketika Rasulullah SAW pulang berdakwah, Beliau masuk ke dalam rumah. Saat itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi. Seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makanan pun tak punya. Sehingga ketika Fatimah menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Kemudian Rasulullah SAW mengambil Fathimah dari gendongan istrinya lalu diletakkan di tempat tidur. Rasulullah SAW yang lelah seusai berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah.

Rasulullah SAW tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Nabi SAW dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah. Beliau pun terjaga. “Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?” tanya Rasulullah dengan lembut.

Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun, hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?” lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.

Wahai suamiku. Wahai Nabi Allah. Bukan itu yang kutangiskan,” jawab Khadijah. Khadijah melanjutkan: “Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Wahai Rasulullah“.

Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah. Sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyeberangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyeberangi sungai, namun engkau tidak memperoleh rakit atau pun jembatan.

“Maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyebrangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu. Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam wahai Rasulullah.” kata Khadijah RA.

Mendengar ucapan Khadijah tersebut, Rasulullah SAW pun semakin kagum atas kemuliaan istrinya. Oleh karena itu beliau pernah menyebutkan keistimewaan dan pengorbanan Khadijah RA dalam salah satu sabdanya kepada para sahabat:

“Allah tidak pernah memberikanku wanita yang lebih mulia daripada Khadijah. Di saat manusia tidak percaya, dia sendiri yang percaya. Ketika semua orang mendustakan diriku, dia sendiri yang menerimaku. Ketika manusia berlarian dariku, ia mendukungku, baik ketika ada maupun tiada. Dan Allah mengaruniaiku putra-putri bukan dari yang lain, melainkan darinya.”

Sabda Rasulullah ini menjadi bukti betapa besar cinta dan pengorbanan Khadijah RA dalam mendampingi perjuangan Nabi Muhammad SAW. Khadijah RA telah hidup mendampingi Nabi Muhammad SAW selama 25 tahun, suatu masa kebersamaan yang terlama dibanding dengan istri-istri yang lain mendampingi Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW tidak menikahi wanita lain selama bersama Khadijah RA.

Hal itu sebagai penghormatan terhadap cinta, pengorbanan dan kemuliaan yang dimiliki Khadijah RA. Beliaulah yang memberi putra dan putri: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah sebagai buah pernikahan keduanya. Namun, Khadijah bukan hanya ibu bagi putra-putrinya saja, tapi juga ibu bagi Zaid dan Ali yang ikut bersama dalam rumah tangganya. Semuanya hidup rukun dan bahagia, penuh cinta kasih.

Ketika Khadijah RA sakit menjelang ajalnya, beliau berkata kepada Rasululllah SAW, “Aku memohon maaf kepadamu Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu”. Rasulullah pun menjawab, “Jauh dari itu ya Khadijah. Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya”.

Khadijah RA memang telah mengorbankan semua miliknya: kekayaan, kebangsawanan dan kemuliaannya dalam mendukung dakwah Nabi Muhammad SAW. Beliau yang awalnya kaya raya jatuh miskin, hingga tak punya kain kafan untuk membungkus jenazahnya saat meninggal.

Detik-detik saat Khadijah RA merasa ajalnya semakin dekat, wanita mulia itu memanggil Fathimah Azzahra dan berbisik, “Fathimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku”.

Mendengar itu Rasulullah SAW berkata, “Wahai Khadijah, Allah SWT menitipkan salam kepadamu dan telah dipersiapkan tempatmu di surga”. Ummul Mukminin, Khadijah RA, pun mengembuskan napas terakhirnya di pangkuan suami tercinta, Rasulullah SAW. Khadijah RA pun didekap Nabi Muhammad SAW dengan perasaan pilu dan sedih yang teramat sangat.

Melihat air mata Rasulullah SAW turun, semua orang yang ada di situ ikut menangis. Saat itu, Malaikat Jibril turun dari langit dengan mengucap salam dan membawa lima kain kafan dari surga. Rasulullah SAW menjawab salam Jibril dan bertanya: “Untuk siapa sajakah kain kafan itu, wahai Jibril?

“Kafan ini untuk Khadijah, untuk engkau ya Rasulullah, untuk Fathimah, Ali dan Hasan”, jawab Jibril. Kemudian Jibril berhenti berkata dan menangis. Rasulullah SAW pun lantas bertanya, “Kenapa Ya Jibril?”. “Cucumu yang satu, Husain (putra Sayyidina Ali) tidak memiliki kafan, dia akan dibantai dan tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan,” sahut Jibril.

Lalu Rasulullah SAW berkata di dekat jasad Khadijah. “Wahai Khadijah, istriku sayang, demi Allah, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. Allah Maha Mengetahui semua amalanmu”. Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu. Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?

Rasulullah SAW semakin sedih mengenang istrinya semasa hidup. Pengorbanan Khadijah RA sungguh tak ada duanya. Itulah yang menyebabkan Rasulullah SAW sulit melupakan istri pertamanya itu. Bahkan, saking cintanya Rasulullah SAW pada Khadijah RA, Aisyah RA pernah merasa sangat cemburu, karena Rasulullah SAW selalu menyebut nama Khadijah.

Maka Rasulullah SAW pun menjawab: “Allah SWT tidak menggantikan dia dengan seorang wanita pun yang lebih baik darinya. Ia adalah wanita yang telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir masih memusuhiku, Ia adalah wanita yang membenarkanku tatkala orang-orang mendustakanku, Ia adalah wanita yang membantuku dengan harta yang dimilikinya tatkala orang tidak mau membantuku dengan harta yang dimilikinya. Dan Allah SWT telah menganugrahkan darinya anak-anak yang mana Allah SWT tidak menganugrahkan kepadaku anak-anak dari wanita (istriku) yang lain”. (HR. Ahmad).

Khadijah RA telah hidup mendampingi Nabi Muhammad SAW selama 25 tahun dan wafat dalam usia 65 tahun (10 tahun setelah penunjukan kenabian atau tiga tahun sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah). Sedang Rasulullah saat itu berusia 50 tahun. Beliau meninggal di gunung Hujun, karena sakit-sakitan yang terus melemah akibat blokade orang kafir Quraisy selama 3 tahun dan dimakamkan di pemakaman dekat Mekkah. Rasulullah SAW sendiri yang turun ke liang kubur memakamkan jenazah sang istri tercinta.

Wafatnya Ummul Mukminin Khadijah RA sangat berdekatan waktunya dengan wafatnya Abu Thalib, pamannya. Rasulullah SAW benar-benar sedih dengan wafatnya dua orang yang beliau cintai yang menjadi pendukung utama dakwahnya. Karena begitu sedihnya Rasulullah SAW, tahun meninggalnya beliau dikenal sebagai “‘Amul Huzni” (Tahun Kesedihan) dalam perjalanan hidup Rasulullah SAW.

Demikianlah Khadijah RA, wanita mulia yang paling dicintai Rasulullah SAW dan salah satu dari empat wanita pemimpin bidadari surga sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Pemuka wanita ahli surga ada empat: Maryam binti Imran, Fatimah binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khadijah binti Khuwailid dan Asiyah”. (HR Muslim).

Semoga salawat dan salam selalu senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW dan keluarga beliau. Aamiin.

0Shares

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *