Cecep Y Pramana
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan sangat menentukan (Yusuf Qardhawi, 1993), baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan ekonomi ummat.
Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun islam yang lima, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’lum min ad-dien bi adh-dharurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Dan zakat merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah.
Seseorang muslim yang menunaikan zakat, adalah semata-mata didorong oleh keimanannya kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. Hal tersebut sama halnya dengan keimanan mereka dalam menunaikan perintah wajib shalat, puasa dan haji.
Seorang muslim tidak menganggap bahwa harta yang ia serahkan itu sebagai harta lebihan, harta sampingan dan sebagainya yang ia berikan kepada para fuqara dan masakin. Tetapi karena di dorong oleh kewajiban yang Allah tetapkan atas dirinya pada hartanya.
Karena itulah, zakat ibarat proyek latihan bagi seorang muslim, dalam menjalankan perintah Allah. Dalam Surat at-Taubah, Allah SWT menjelaskan bahwa penunaian zakat merupakan pintu masuknya seseorang ke dalam Islam.
“dan bila mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudaramu seagama….” (QS. At-Taubah: 11)
Zakat, juga bisa dijadikan sebagai neraca, guna menimbang kekuatan iman seorang mukmin serta tingkat kecintaannya yang tulus kepada Rabbul ‘izzati. Sebagai tabi’atnya, jiwa manusia senantiasa dihiasi oleh rasa cinta kepada harta.
Sebagaimana firman Allah di dalam Surat Ali- Imran ayat: 14: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).“
Ketika seorang mu’min menyerahkan hartanya semata-mata karena mengharap keridhaan Allah dan dilandasi keimanannya atas mulkiyah Allah, maka hal tersebut praktis menjadi indikasi kekuatan imannya.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, memaparkan bahwa melalui zakat, Allah SWT menguji derajat keimanan seorang hamba yang mencintai-Nya, melalui kesediaannya berpisah dengan sesuatu yang ia cintai demi cintanya kepada Allah SWT.
Ketika menyifatkan tingkat ibadah orang-orang mukmin yang bertaqwa, Allah SWT menyebutkan bahwa sikap mereka diantaranya menyisihkan harta mereka sebagai hak orang miskin.
Disebutkan dalam surat Adz-Dzariyat ayat: 19, “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tak mendapat bagian (tidak meminta).”